Fenomena ‘Tom dan Jerry’ dalam Dunia Pendidikan

Fenomena ‘Tom dan Jerry’ dalam Dunia Pendidikan – Dunia kerja dan kurikulum itu, seperti ” Tom dan Jerry” itulah lontaran Dirjen Dikti yang menanggapi kritik atas program Merdeka belajar di mana mahasiswa magang di perusahaan-perusahaan yang bisa mengkonversi magang tersebut menjadi mata kuliah bahkan sampai 10 SKS.

Juga banyak yang menilai pemerintah tengah men-vokasi semua perguruan tinggi. Menurutnya wajar-wajar saja kurikulum berganti setiap lima tahun sekali. Untuk menutupi ketertinggalan dengan dunia kerja dan lain sebagainya.

Banyak yang bisa disikapi dari pernyataan di atas, yang pertama. Magang di perusahaan-perusahaan memang bagus, di samping mahasiswa memperoleh pengalaman bekerja, mereka jadi paham bahwa dunia kerja membutuhkan skill tertentu untuk kebutuhan perusahaan.

Namun perlu diingat, dalam dunia ilmu pengetahuan, mahasiswa harus paham teori yang membangun ilmu pengetahuan jurusan yang mereka pilih. Jangan sampai ada mata kuliah substansial yang harusnya mereka pelajari dilewatkan begitu saja dan dikonversi dengan nilai magang tersebut. sehingga terjadi pendangkalan intelektualisme. Saya rasa wajar kalau ada yang mengkritik bahwa semua perguruan tinggi dibuat rasa vokasi.

Betapa rapuhnya mahasiswa-mahasiswa kita kalau mereka tidak memahami secara mendalam dasar-dasar keilmuan yang mereka miliki. Rasa keilmuan dan intelektualisme sebagai mahasiswa akan sangat dangkal dan berpotensi menggerus pengetahuan yang harusnya mereka dapat secara mendalam.

Jika sasarannya hanya dunia kerja, maka sebaiknya mahasiswa sedari awal diarahkan saja untuk kuliah di jurusan vokasi. Magang penting, namun jangan mengabaikan fundamental ilmu yang harus mereka kuasai agar nalar kritis tetap melekat sebagi ciri khas mahasiswa dan calon ilmuwan di masa depan.

Yang kedua, ungkapan bahwa kurikulum berganti tiap lima tahun sesungguhnya menggambarkan bahwa kita tidak memiliki cetak biru jangka panjang pendidikan. Seandainya tahun 2024, kurikulum Merdeka diganti lagi? Bayangkan energi dari pendidikan dasar hingga tinggi yang harus dipakai untuk kemudian menyesuaikan diri dengan kurikulum baru ini lagi.

Standar-standar pencapaian akan berubah lagi. Model-model penerimaan mahasiswa baru akan berubah juga. Jargon-jargon pendidikan tinggi akan berubah menyesuaikan dengan visi misi pemerintah yang baru.

Kalau kita punya cetak biru pendidikan, pemerintahan siapa pun itu tidak akan mudah mengotak-atik program yang sedang jalan meskipun tidak sesuai dengan selera pemerintahan tersebut. Mengapa tidak direvisi saja? Disesuaikan dengan perubahan-perubahan mendadak di dunia pendidikan.

Mengganti kurikulum berarti mengganti seluruh fondasi dan bangunan pendidikan di negeri ini. Maka lihatlah, rangking pendidikan kita masih berputar di situ-situ saja. Kualitas pendidik kita makin merosot.

Mereka terlalu sibuk beradaptasi dengan perubahan kurikulum dan bingung mulai dari mana meningkatkan kompetensinya? Setiap lima tahun, tuntutan berubah drastis.

Baca juga: Melawan Kebijakan Irasional dan Otoriter dalam Dunia Pendidikan

Belum lagi mampu melaksanakan kurikulum lama, sudah dituntut lagi untuk melaksanakan kurikulum baru. Sehingga memang perlu persiapan matang jika mau mengganti kurikulum tidak hanya dengan modal menyuruh pendidik download segala sesuatunya dari internet.

Kurikulum dan dunia kerja memang bagaikan Tom dan Jerry. tidak akan pernah ketemu dan seiya sekata, dunia kerja selalu akan berubah dan dinamis, namun bukan berarti kurikulum tidak bisa mengejar.

Banyak hal-hal fundamental yang harus dievaluasi dulu sebelum mengganti kurikulum. Siapkan dana yang besar dan pelatihan untuk semua pendidik. Infrastruktur harus sudah lebih memadai. Ketersedian tenaga pendidik bermutu juga adalah tuntutan utama.

Jangan ada disparitas fasilitas pendidikan yang menganga lebar antara Jawa dan luar Jawa. Mengganti kurikulum sah-ayah saja dan gampang-gampang saja. Namun, bagaimana kemudian dampaknya?