Menerapkan Sustainable Development di Dunia Pendidikan, Seberapa Penting?

Menerapkan Sustainable Development di Dunia Pendidikan, Seberapa Penting? – Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tidak selalu berfokus pada aspek lingkungan, namun juga perlu didukung oleh komponen lain, salah satunya dunia pendidikan.

Biasa disebut Education for Sustainable Development (ESD), menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pembelajaran bertujuan untuk memberdayakan para peserta didik menjadi pribadi yang mampu mengambil keputusan dan tindakan tepat serta bertanggung jawab. Mereka bisa menyadari bahwa sebuah aksi dapat berpengaruh pada kondisi prisonersamongus lingkungan, sosial, dan ekonomi di masa ini maupun mendatang.

Dalam sebuah disertasi yang diterbitkan Universitas Gadjah Mada, disebutkan pula bahwa pendidikan merupakan instrumen komunikasi yang efektif untuk mengajak generasi muda menciptakan masa depan yang lebih baik. Misalnya, melalui mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, para siswa dapat mengetahui fenomena perubahan iklim dan dampaknya. Harapannya, mereka bisa lebih berempati untuk menjaga bumi.

Jakarta Intercultural School (JIS) menjadi sekolah yang berupaya menerapkan hal tersebut. Dalam pembelajaran, JIS akan mengajak siswanya untuk menciptakan perubahan positif menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Harapannya, isu-isu global terkait perdamaian dunia, kesetaraan gender, transisi energi, perubahan iklim, polusi udara dan air, pengurangan risiko bencana, dan keanekaragaman hayati dapat cepat diselesaikan.

“Ini (menerapkan pembangunan berkelanjutan dalam pendidikan) berarti mengembangkan kemampuan siswa untuk bekerja sama dalam memecahkan masalah (yang disebabkan oleh tantangan global).

Sehingga, mereka bisa mempunyai perspektif yang berbeda (terhadap masa depan),” jelas JIS Middle School Health Teacher, Rae Merrigan, dalam sebuah episode The JIS Podcast.

Rae juga mengatakan, JIS menaungi siswa dan pengajar dari berbagai latar belakang di seluruh dunia.

Dengan perbedaan tersebut, siswa terbiasa berpikir melalui berbagai perspektif untuk membangun komunitas yang mendukung tercapainya 17 Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Tak hanya itu, membawa pemahaman SDGs ke dalam kelas berarti mengajak siswa untuk sadar bahwa tindakan mereka hari ini berdampak pada masa depan. Jika pola pikir siswa telah dibentuk untuk lebih menyayangi lingkungan, kehidupan yang lebih baik puluhan tahun mendatang pun bisa terwujud.

“Mungkin kita hanya melakukan satu langkah kecil. Namun, ketika langkah tersebut dilakukan oleh banyak orang, ia akan membawa sebuah perubahan yang besar,” lanjut Rae.

Dalam kesempatan yang sama, JIS Middle School Science Teacher, Adam Fox, menjelaskan bahwa JIS mempunyai serangkaian program yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Program-program ini disesuaikan dengan permasalahan lingkungan yang terjadi di sekitar sekolah. Bersama para pengajar, siswa akan dibimbing untuk memikirkan solusi yang bisa dilakukan guna menyelesaikan masalah tersebut.

“Pada 2019, kami bertemu dengan sosok masyarakat inspiratif. Mereka mempunyai rencana yang berkaitan dengan SDGs dan bagaimana JIS dapat mengambil peran dalam rencana tersebut. Project pertama adalah apa yang bisa kami lakukan untuk mengatasi polusi air,” ungkap Adam.

Adam bercerita, karena kebanyakan siswa tinggal di Jakarta, permasalahan ini dapat dengan mudah dipahami. Setelah mengetahui penyebab polusi tersebut, para siswa JIS diajak untuk menghadirkan solusi ketersediaan air bersih.

“Tidak harus untuk minum, minimal air bersih untuk mencuci tangan. Kami (akhirnya) menyediakan pompa penyaringan agar ketersediaan air bersih dapat terus ada,” jelas Adam.

Selain terjun langsung ke masyarakat, JIS juga menggandeng non-governmental organization (NGO) atau lembaga, komunitas, maupun organisasi yang aktif dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat.

Berbeda dengan menghadirkan sebuah solusi secara langsung, JIS secara proaktif menanyakan terlebih dahulu permasalahan yang sedang dihadapi NGO tersebut. Selanjutnya, para siswa, pengajar, serta perwakilan dari NGO akan berdiskusi untuk mencari jalan keluar.

Adam mengatakan, siswa SMA JIS pernah mempelajari pertanian organik untuk menyediakan bahan pangan yang bergizi bagi ibu hamil di suatu NGO.

“(Lewat program ini) siswa tak hanya bisa merasakan sendiri bagaimana sebuah bahan pangan diproduksi, mereka pun dapat berinteraksi dengan komunitas terkait perkebunan hingga penjualan (bahan pangan) tersebut,” ucapnya.

Itu artinya, memfasilitasi para siswa untuk mendukung pembangunan berkelanjutan lewat dunia pendidikan sama saja mendorong aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara seimbang dan terintegrasi. Dengan begitu, resolusi PBB ‘Mengubah dunia kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan’ pun dapat cepat terwujud.

Baca juga: Alasan Bahasa Inggris Penting untuk Diajarkan pada Anak Usia Dini

Ke depannya, JIS akan terus berkomitmen dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

“(Misalnya) project untuk permasalahan stunting di Indonesia, atau project di Kalimantan yang berfokus pada pengelolaan ekosistem hutan hujan,” jelas Adam.

Bagi Adam, membawa perspektif pembangunan berkelanjutan ke kelas juga dapat mengubah sudut pandangnya sebagai individu. Para guru diharapkan tak sekadar membacakan teori terkait SDGs, tapi juga ikut menerapkannya bersama siswa.

“Salah satu bagian terbaik (dari mengajarkan pembangunan berkelanjutan kepada siswa) adalah perubahan yang dibawa hari ini, berdampak besar di masa depan. Para siswa akan menjadi influencer yang bisa mengajak lebih banyak orang (untuk lebih peduli pada bumi),” pungkasnya.

Dengarkan lebih banyak program-program Jakarta Intercultural School yang inspiratif dan inovatif lewat The JIS Podcast yang telah hadir di Spotify. Bersama para siswa, pengajar, dan staf sekolah JIS, podcast ini akan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan, perkembangan anak, hingga komitmen JIS dalam mewujudkan generasi muda menjadi versi terbaik bagi dunia.

Melawan Kebijakan Irasional dan Otoriter dalam Dunia Pendidikan

Melawan Kebijakan Irasional dan Otoriter dalam Dunia Pendidikan – Dunia pendidikan belakangan ini jadi sorotan dan santer dibicarakan oleh berbagai kalangan, baik kalangan yang ada di tongkrongan warung kopi, tongkrongan para pelajar dan mahasiswa, tongkrongan para ibu-ibu rumah tangga, tongkrongan para praktisi pendidikan, maupun tongkrongan para elite politik—dalam hal ini yang mempunyai hak dan wewenang untuk membuat suatu kebijakan.

Para kalangan ini saling menyoroti terkait kebijakan dan peraturan yang dibuat serta dikeluarkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat yang membuat suatu aturan dan kebijakan baru dalam dunia pendidikan yang ada di daerahnya.

Di mana dia membuat suatu kebijakan siswa SMA/SMK sederajat harus berangkat ke sekolah pukul 05.00 pagi. Kebijakan itu langsung diuji coba di sepuluh sekolah—meski kebijakan tersebut kemudian direvisi menjadi jam 05.30 WITA.

Kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tetapi dalam hal ini massa yang kurang setuju dan cenderung melawan kebijakan tersebut menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan Gubernur NTT tersebut tidak berlandaskan atau tidak berpijak terhadap penelitian keilmiahan dan cenderung ngawur dalam membuat sebuah keputusan.

Bagaimana tidak, Gubernur membuat kebijakan di mana ia memerintahkan para siswa masuk sekolah pukul 5 pagi dengan alasan bahwa sang gubernur ingin melatih dan membentuk karakter siswa/i SMA/SMK serta melatih etos kerja yang ada di Nusa Tenggara Timur.

Niat awal yang diinginkan oleh gubernur sebenarnya baik karena ingin melatih karakter siswa agar lebih disiplin dan bisa bertanggung jawab. Akan tetapi niat awal yang baik tersebut tidak didukung oleh berbagai hal yang membuat niat tersebut menjadi salah kaprah dalam bertindak.

Begitu banyak aspek yang membuat keputusan gubernur tersebut sangat layak untuk dikritisi sekaligus dilawan. Dari kebijakan tersebut kita bisa menilai dari sisi psikologisnya terlebih dahulu. Dampak dari kebijakan tersebut sangat memungkinkan menghasilkan efek yang buruk bagi siswa itu sendiri.

Kebijakan berangkat ke sekolah pukul 05.00 pagi dapat berdampak terhadap kondisi fisik, emosi, dan kognitif para siswa. Jika dilihat dalam segi kondisi fisik, kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kualitas tidur para siswa sehingga dapat memengaruhi kondisi fisiknya.

Disisi lain, penambahan jam sekolah juga berakibat terhadap siswa yang nantinya menjadi kelelahan akut terhadap anak yang bisa menurunkan imunitas tubuh sehingga sangat rentan terhadap penyakit serta belajar menjadi tidak fokus.

Dikutip dari tempo.co, kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 pagi juga memiliki dampak terhadap segi emosi anak. Mereka harus bangun lebih pagi dari biasanya yang hal tersebut justru tidak mudah. Juga dengan orang tua yang bisa sewaktu-waktu tersulut emosinya ketika melihat sang anak belum siap untuk berangkat ke sekolah.

Terdapat lingkaran persoalan emosi negatif dalam kondisi seperti itu. Belajar di sekolah yang seharusnya diawali dengan emosi positif yang penuh akan harapan dan motivasi, malah menjadi emosi yang negatif yang penuh ketakutan dan kekhawatiran.

Jikalau hal ini berlangsung begitu lama muncul kekhawatiran yang nantinya ditakutkan para siswa ini hilang motivasinya untuk belajar di sekolah. Guru pun juga begitu lama-lama akan merasa capek dan hilang motivasinya untuk memberikan pengajaran terhadap siswanya. Sehingga hak-hak mendapatkan pengajaran yang baik bagi para siswa kurang terpenuhi karena kondisi dan keadaan tersebut.

Dalam segi kognitif kebijakan tersebut juga memberi dampak yang buruk. ebijakan berangkat sekolah lebih pagi dapat mempengaruhi aspek kognitif pada anak dikarenakan dalam hal ini otak manusia itu akan berfungsi secara optimal apabila kondisi badan dalam keadaan sehat dan bahagia.

Apabila siswa dalam belajar otaknya tidak dalam kondisi yang optimal dalam hal ini sehat dan bahagia, maka akan terjadi suatu degradasi terhadap kualitas literasi dan numerasi serta dalam pengambilan suatu keputusan akibat dikeluarkannya kebijakan tersebut.

Dalam faktor lainnya, misalkan dalam segi keamanan. Masuk sekolah pukul 05.00 pagi juga rentan terhadap keamanan para siswa itu sendiri. angit yang masih gelap dan sang surya belum menampakkan sinarnya berdampak pada segi keamanan siswa saat hendak berangkat menuju sekolah.

Karena kondisi yang masih gelap sangat berisiko terhadap siswa, yang ditakutkan nanti ketika siswa menuju ke sekolah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya pembegalan atau tindakan kejahatan lainnya.

Dalam segi fasilitas umum dan transportasi juga dinilai kurang memadai dan kurang menopang kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Viktor. ada jam tersebut transportasi umum belum beroperasi sehingga sangat menyulitkan para siswa yang berangkat ke sekolah naik transportasi umum dan jarak tempuh dari rumah ke sekolah cukup jauh.

Kebijakan ini dikeluarkan juga tidak melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, utamanya para pelajar itu sendiri yang menerima konsekuensi dari adanya kebijakan tersebut. eharusnya para pelajar tersebut juga mendapatkan hak belajarnya secara merdeka sesuai dengan arahan pemerintah saat ini bahwa belajar itu harus merdeka dan merdeka untuk belajar.

Prinsip dasar daripada merdeka belajar ialah menempatkan para pelajar tersebut dalam posisi yang merdeka dan memerdekakan. Dalam hal ini, pelajar diberikan ruang yang seluas-luasnya dan selebar-lebarnya untuk bisa mengeksplor serta memiliki kesempatan untuk ikut serta merancang peta jalan pembelajarannya.

Sejatinya pendidikan di Indonesia itu harusnya berpatok dan tidak terlepas dari semangat api perjuangan Ki Hajar Dewantara, yakni keteladanan (ing ngarsa sung tuladha), pembangunan semangat (ing madya mangun karsa), dan pemberdayaan (tut wuri handayani).

Baca juga: Teknologi Bisa Permudah Belajar Matematika

Menuntut ilmu atau belajar di sekolah seharusnya memberikan semangat dan membangun gairah belajar yang asyik dan menyenangkan serta memberikan seluas-luasnya terhadap ruang kemerdekaan. Bukan malah menjadi sumber ketakutan dan rasa kekhawatiran.

Kebijakan yang dibuat Gubernur Viktor begitu irasional dan cenderung otoriter. Karena sejatinya peserta didik di sini dijadikan sebagai subjek dalam pengambilan kebijakan yang harapannya nanti memberikan dampak baik terhadap mereka justru mereka malah dijadikan sebagai objek suatu kebijakan terkait pendidikan. Para pelajar di NTT tersebut menjadi kelinci percobaan dari kebijakan yang dibuat sang gubernur.

Karena kebijakan yang dibuat tersebut tidak melibatkan para pelajar yang ada di NTT. Oleh sebab itu, sudah seharusnya para pelajar harus menyuarakan aspirasi penolakannya karena dirasa kebijakan tersebut dinilai merugikan terhadap diri mereka secara kolektif. Hal itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan peserta didik sendiri di masa depan.

Sudah saatnya dan seharusnya pelajar yang ada di NTT dan di seluruh Indonesia agar tidak diam dan menerima begitu saja praktik-praktik irasional dan otoriter dalam dunia pendidikan. Para pelajar harus berani menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai luhur yang baik dan menentang tindakan semena-mena.

Jika perlu, lakukan konsolidasi kekuatan secara serius. Serta memperjuangkan gagasan dan pemikirannya dengan cara bergotong-royong.

Paradigma Pendidikan Holistik

Paradigma Pendidikan Holistik – Keluarga, sekolah, dan lingkungan merupakan tiga komponen utama dalam proses pendidikan yang berkesinambungan. Ketiganya terlibat membentuk karakter peserta didik dalam porsi relatif berbeda.

Kecuali lembaga pendidikan berasrama seperti pesantren atau boarding school, di mana peran ketiga elemen tersebut nyaris melekat seluruhnya pada institusi selama proses pendidikan berlangsung.

Namun, dalam situasi umum proses pendidikan di Indonesia yang menganut konsep pendidikan beragam, antara yang full day dan boarding, tiga elemen itu seperti punya peran terpisah. Mindset masyarakat kita tentang pendidikan, umumnya menempatkan  prisonersamongus.com institusi resmi, yaitu sekolah, sebagai pusat transfer kognitif atau hal-hal yang bersifat akademis.

Sementara pembentukan karakter seolah diserahkan kepada keluarga dan lingkungan. Padahal, peran ketiganya tidak harus terpecah dalam dikotomi sempit yang justru menghambat proses optimalisasi pendidikan. Keluarga, sekolah, dan lingkungan secara fungsional semestinya mengelaborasi semua fungsi pendidikan di mana pun ketiga ‘institusi’ ini dapat menjangkau peserta didik.

Dampak dari dikotomi tersebut sangat terlihat di masa-masa adaptasi pembelajaran akibat COVID-19 ini.

Orang tua dan lingkungan tampak gagap ketika anak harus belajar secara virtual, school from home.

Institusionalisasi pola pikir bahwa sekolah tempat belajar akademik dan keluarga serta lingkungan tempat belajar karakter, mengakibatkan ada yang terputus dalam proses transfer nilai dan ilmu pengetahuan terhadap anak-anak kita. Paling kentara, terlihat dari semangat belajar yang fluktuatif, atau bahkan cenderung lemah ketika berada di lingkungan yang selama ini dilabeli sebagai “bukan sekolah”.

Proses pendidikan semestinya menanamkan nilai dasar pada anak didik, bahwa semua tempat adalah sekolah, semua orang, termasuk teman dan lingkungan adalah guru. Bila ini menjadi paradigma dasar masyarakat kita dalam memposisikan proses pendidikan, maka anak-anak kita punya banyak ruang pembelajaran. Jadi kaya khazanah pengetahuan, wawasan dan bisa terlibat dalam berbagai seleksi nilai maupun karakter yang mereka jumpai sepanjang perjalanan hidup. Paradigma ini, juga menuntun kita melihat bahwa kehidupan merupakan proses pendidikan sepanjang hayat.

Kabar baiknya, beberapa lembaga pendidikan yang memang dikelola lebih modern dan berpikir maju, sudah lama meninggalkan tradisi pemecahan fungsi tiga elemen pendidikan itu. Mengadopsi paradigma pendidikan holistik. Khususnya diterapkan oleh sekolah-sekolah swasta yang kurikulumnya dirancang dan di-develop sesuai intuisi masa depan di mana dinamika ilmu pengetahuan terus berkembang.

Model pendidikan seperti ini pula yang dikembangkan di Insan Cendekia Madani (ICM). Sekolah yang saya dirikan sepuluh tahun yang lalu, mengelaborasi banyak materi pendidikan. Mulai dari pengayaan gagasan dari rahim ideolog dan cendekiawan muslim yang kemudian kita sebut sebagai Prophetic Curriculum, hingga penerapan Kurikulum Cambridge yang terstandardisasi secara internasional.

Pendidikan berkarakter yang direfleksikan melalui integritas intelektual dan kapasitas moral, merupakan buah dari terbangunnya paradigma pendidikan holistik. Sebaliknya, bila dunia pendidikan dipandang secara parsial dan institusional, maka kita akan menemukan banyak cacat moral dan integritas.

Bahkan terhadap orang-orang yang dalam ukuran akademis tergolong berada di kasta tertinggi.

Betapa banyak misalnya, figur yang menyandang gelar akademis tinggi, namun terjerat kasus hukum dan moral. Tidak sedikit pula orang yang memperdagangkan gelar akademik bagai komoditas, karena pandangan parsial terhadap proses pendidikan. Dekadensi moral tidak mengenal stratifikasi akademis. Itulah salah satu akibatnya bila tidak utuh memotret proses pendidikan.

Selain soal paradigma pendidikan holistik yang belum diterapkan sebagai mainstream dunia pendidikan kita, tantangan lain yang kita hadapi adalah mewujudkan pendidikan berkeadilan. Dua hal ini saling bertalian. Pendidikan yang adil tidak akan pernah bisa diwujudkan sepanjang cara pandang kita terhadap pendidikan terkooptasi oleh stratifikasi artifisial. Pendidikan berkeadilan hanya bisa diwujudkan dengan mengubah dasar paradigma kita terhadap proses pendidikan yang mengintegrasikan tiga komponen: Keluarga, sekolah lingkungan.

Pendidikan berkeadilan berarti soal akses. Pendidikan berkeadilan adalah menjamin semua input dalam proses pendidikan bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanpa terkecuali. Tapi bila kita memandang, misalnya, hanya sekolah tempat belajar akademis, artinya secara otomatis di sana terjadi limitasi terhadap akses input.

Ada border kasat mata yang dibangun, sehingga seolah mengirimkan pesan bahwa pencapaian akademis hanya bisa didapat di sekolah. Padahal, belum tentu semua lapisan masyarakat bisa mengakses sekolah tersebut. Dalam bahasa yang lebih teknis, kita tidak mungkin memaksa masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk mendaftar di sekolah berlabel “unggulan”.

Karena itu, di Insan Cendekia Madani (ICM) yang sejak awal mengusung paradigma pendidikan holistik, selain mengintegrasikan tiga elemen pendidikan, jaringan ICM juga membuka akses melalui beasiswa pendidikan berkualitas. Kuota 20% pendidikan cuma-cuma secara proporsional dan terukur.

Untuk membangun mutu pendidikan, ICM tentu membutuhkan sokongan finansial.

Tapi kebutuhan itu, tidak lantas menjadikan institusi pendidikan sebagai wadah mengakumulasi kapital, atau dalam bahasa yang lebih vulgar, menyimpang dari misi spiritual, sosial, kebudayaan menjadi misi industri berorientasi profit. Tidak.

Baca juga: Mengelola Pendidikan untuk Anak Bangsa

Pada gilirannya, pendidikan berparadigma holistik yang dibangun secara profesional, tumbuh memukau.

Mendapat sambutan luas dari masyarakat dan diapresiasi oleh stakeholders pendidikan. Baik oleh pemerintah maupun Non-Government Organization (NGO).

Yang paling merasakan benefit, tentu saja peserta didik dan orang tua siswa.

Apalagi, institusi bisnis bahkan melihat paradigma pendidikan holistik ini sangat feasible. Sehingga tawaran kerja sama, kemitraan dan kolaborasi datang dari berbagai arah.