Merdeka Belajar Itu untuk Apa?

Merdeka Belajar Itu untuk Apa? – “Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.” Itulah kata-kata bermakna yang pernah diucapkan oleh Bung Karno di depan pengadilan kolonial Bandung pada tahun 1930 sebelum beliau dijebloskan ke penjara Sukamiskin. Kata-kata yang tertulis dalam naskah pidato pembelaannya dengan judul Indonesia prisonersamongus Menggugat itu menjadi semangat perlawanan untuk lepas dari kolonialisme menuju Indonesia Merdeka.

Pertanyaannya, sesudah lebih dari 75 tahun Indonesia Merdeka, apakah gaung dari makna kata-kata itu masih juga terngiang-ngiang, terutama saat dunia pendidikan nasional, tengah menerapkan program Merdeka Belajar? Dengan kata lain, kata-kata yang lebih dari 90 tahun lalu diperdengarkan dan sempat mengguncang dunia internasional itu, apakah masih dapat diberdayakan untuk menggugah dunia pendidikan nasional dalam mengerjakan program Merdeka Belajar secara terencana dan terpadu?

Jawabnya, tentu masih dan dapat. Sebab apa yang dikatakan oleh Bung Karno masih amat relevan, kontekstual dan signifikan. Lantas, bagaimanakah hal itu dapat diwujudnyatakan, terlebih dalam konteks kepemimpinan di era Merdeka Belajar?

Pertama, sebagai bagian penting dari gerakan nasionalis awal di Indonesia, sejak semula pendidikan dirancang dengan membebaskan anak-anak untuk bermain dan belajar menurut kemampuan dan kemauannya sendiri. Tentu saja para guru tetap mengawasi dan membimbing mereka bukan dengan mata yang menghukum, tetapi memberi keteladanan yang mencerminkan tanggungjawab dan perhatian berdasar kesetaraan dan persaudaraan.

Kedua, penyebutan “bapak” dan “ibu” terhadap mereka yang lebih tua bukan dilandasi oleh hubungan kekuasaan atau otoritas yang menyiratkan superioritas dan inferioritas status, melainkan lebih untuk rasa hormat pada yang dituakan. Dengan kata lain, hubungan antara anak dan bapak atau ibu dimungkinkan untuk berbeda pendapat misalnya.

Namun perbedaan itu tidak membuat siapa pun berhak untuk menghakimi, bahkan menghukum, mereka yang dianggap tidak setara, apalagi tidak bisa atau punya apa-apa. Penghargaan seorang terhadap yang lain adalah kunci dari gerakan pendidikan yang toleran, plural dan tajam.

Ketiga, dalam pendidikan tidak dikenal adanya hukuman. Yang “bersalah” justru dituntut untuk membuat suatu pengakuan dan dituntun untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan secara ksatria. Dalam arti ini, anak-anak didik diajar untuk tahu diri, mengerti tugas dan konsekuensi dari segala keputusan beserta tindakannya.

Hal itu digambarkan dengan baik dalam sebuah cerita pewayangan di mana sosok Abimanyu tidak takut menentang kakeknya demi dapat bertemu dengan Arjuna, ayahnya sendiri. Begitu pula dengan para pemuda, seperti Sukarni, Wikana dan Singgih, yang menculik Sukarno-Hatta dan dibawa ke Rengasdengklok sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 17-8-1945 demi ketetapan hati dan rasa cinta yang berkobar-kobar pada Indonesia.

Baca juga: Neurodiversity: Konsep Pendidikan Inklusif untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Pada tataran inilah sosok “bapak” atau “ibu”, termasuk “yahnda” atau “bunda”, sebagai pemandu, guru, dan penjaga memainkan peran dan fungsi penting dalam konsep kekeluargaan/famili-isme yang dikaji ulang melalui pendidikan di sekolah atau kelas.

Tiga kekhasan pendidikan dengan model kepemimpinan keluarga di atas tampak masih dapat untuk dioperasionalkan di masa kini, khususnya di era Merdeka Belajar. Terutama dengan menjadikan keluarga sebagai sekolah, dunia pendidikan diharapkan mampu mengembangkan bukan hanya segala potensi akademik, tetapi sekaligus jiwa dan roh kebebasan dari para pembelajar.

Sebagaimana pernah dipesankan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara bahwa “setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”, hal itu menjadi momentum yang tepat untuk mendalami makna dari kepemimpinan keluarga, khususnya di zaman yang oleh pujangga Jawa kenamaan, R. Ng. Ronggawarsita III (1802-1873), telah diramalkan sebagai zaman edan.

Itu artinya, cara pandang terhadap keluarga di zaman ini diharapkan dapat semakin berkembang dan menjadi semacam sekolah yang memungkinkan setiap orang untuk belajar secara bebas dan mandiri. Oleh sebab itu, menjadikan keluarga sebagai sekolah bukanlah sesuatu yang tak terbayangkan sama sekali di era Merdeka Belajar saat ini.

Pentingnya Compassion dalam Dunia Pendidikan

Menumbuhkan Rasa Peduli

Berdasarkan kisah nyata, ada seorang guru Sekolah Menengah Atas ditanya murid, bernama Rina (bukan nama sebenarnya), “Pak guru, apa yang membuat hidup kita bahagia?” Guru tersebut agak terkejut, lalu berkata, “Kumpulkan beberapa teman sekelas cukup tujuh orang sebagai perwakilan, untuk awal mula.

Besok kita akan pergi ke suatu tempat, berjalan kaki saja” Keesokan harinya Rina bersama enam teman berkumpul dekat pohon ketapang di halaman sekolah.

Pak guru kemudian mengajak mereka berjalan kaki menuju pasar, sejauh dua kilometer. Setelah berada di lokasi tujuan, mereka berbelok ke kanan menuju sebuah Sekolah Dasar prisonersamongus.com (SD) yang terlihat amat sederhana. Di muka sekolah, tepatnya di dekat pohon beringin, pak guru memberikan briefing, penjelasan terkait aktivitas yang akan dilakukan.

Rupanya mereka diberi tugas tutorial, mendampingi anak-anak SD kelas IV, dan V untuk bernyanyi, menari, dan bergembira bersama. Awalnya ketujuh murid itu ragu apakah mampu atau tidak, tetapi karena pak guru telah memberikan motivasi yang kuat, akhirnya mereka bersedia menemani anak-anak SD.

Setelah selesai kegiatan, raut wajah ketujuh murid itu kelihatan bahagia sekali. Mereka kemudian berkumpul untuk sharing pengalaman, menyampaikan evaluasi, dan refleksi atas kegiatan yang sudah berlangsung. Dalam sharing, Rina baru menyadari, bahwa ternyata menjadi bahagia itu sederhana saja, yaitu mau dan bersedia berbagi dengan sesama secara tulus.

Rina mengakui bahwa sebelumnya, hidup yang dijalani hanya terfokus pada diri sendiri. Aneka aktivitas waktu itu dibuat semata-mata untuk memenuhi keinginan rasa ego yang begitu kuat. Rina bersyukur, setelah melalui pendampingan guru yang bijak, hidupnya mulai terasa bermakna. Pengalaman pembelajaran eksperimental di SD, walaupun nampak sederhana telah membuka mata, dan hatinya untuk berubah.

Kepedulian terhadap Sesama

Toyohiko Kagawa (1888-1960), sejak muda, tergugah hatinya ketika melihat realitas kemiskinan yang ada. Pada tahun 1909 dia meninggalkan kemewahan hidup di Kobe, dan memilih tinggal bersama orang miskin di Shinkawa.

Dalam interaksi sosial, Kagawa menyadari, bahwa orang miskin perlu dibantu. Kepekaan sosial pada dirinya pun bertumbuh. Kemudian dia memutuskan untuk berangkat studi lanjut, guna mempersiapkan diri, membantu orang yang masih berada dalam kemiskinan.

Pada tahun 1916 dia mempublikasikan hasil penelitian, berjudul The Psychology of Poverty (Psikologi Kemiskinan). Kagawa dalam analisis, menguraikan bagaimana kemiskinan dipahami sebab akibatnya, termasuk menggunakan cara efektif mengatasi persoalan mereka yang terpinggirkan.

Kagawa menjadi peduli, karena di dalam dirinya ada compassion. Compassion dalam webster dictionary dijelaskan sebagai kesadaran simpatik terhadap penderitaan orang lain bersamaan dengan keinginan untuk meringankan beban yang diderita.

Baca juga: Optimalisasi Digital Marketing Bagi Penerbit Buku dalam Modernisasi Pendidikan

Formasi Jiwa

Dalam profil pelajar Pancasila, ada frase gotong royong, sebagai salah satu bentuk nyata compassion. Kegiatan gotong royong perlu didesain secara baik, supaya tepat sasaran, misalnya dalam kegiatan live in, Pramuka, Palang Merah Remaja, aksi sosial, peduli lingkungan, dan tutorial sebaya.

Ki Hajar Dewantara (1948), secara eksplisit menguraikan tentang pentingnya semangat compassion dalam pendidikan kebudayaan di Indonesia. Beliau mengatakan, “Perkembangan hidup pribadi harus ditujukan ke arah keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama”. Ki Hajar menambahkan — melalui dimensi kebudayaan — manusia diharapkan mampu mencintai sesama, tidak merugikan orang lain, dan berbuat kebaikan guna kemajuan bersama.

Compassion dalam banyak segi memegang peran penting, yaitu sebagai dasar etis sosial membangun dan mengembangkan kepribadian murid di sekolah. Produk pendidikan, bukanlah otomatisasi mesin penghasil barang melainkan formasi jiwa orang yang hidup. Formasi yang demikian akan menghasilkan profil lulusan unggul, yang mencintai sesama secara tulus tanpa pandang bulu.

Formasi jiwa — dalam konsep pendidikan Platon — terkait dengan keunggulan intelektual dan moral yang menghasilkan “tindakan baik” (kalos kagathos/καλὸς κἀγαθός). Tindakan baik, dalam terminologi pemikiran etis klasik menujukkan semangat juang untuk menjadi peduli pada sesama. Dalam analisis Platon, bentuk tertinggi dari pengetahuan adalah empati, karena itu orang perlu menangguhkan ego dan hidup secara baik di dalam masyarakat. Empati yang didasari compassion, akan membekas dalam pribadi yang mau mengulurkan tangan untuk peduli bagi dan bersama sesama.

Kesimpulan

Sebagai catatan akhir, compassion dapat menimbulkan kesadaran para murid dalam merumuskan cita-cita hidup mereka yang mulia. Misalnya seorang murid ingin menjadi dokter karena mempunyai hasrat kuat untuk menolong pasien yang sakit; arsitek karena bersedia mendesain rumah-rumah sederhana bagi orang miskin; dan pedagang karena mau membantu para pembeli yang membutuhkan barang-barang dengan harga yang wajar.

Compassion dalam formasi hidup merupakan sesuatu yang penting. Oleh karenanya gagasan terkait compassion perlu diperkenalkan, dipelajari, dan dilatihkan, supaya para murid secara etis dapat bertumbuh sebagai pribadi yang utuh sebagai makhluk sosial yang peduli terhadap sesama.

Semoga dalam dunia pendidikan para pendidik dapat membantu para murid mengembangkan dimensi compassion. Jika dalam pribadi anak-anak bangsa mempunyai compassion yang kuat, maka persatuan Indonesia sangat mungkin terjadi, dan kesejahteraan sosial demi kemajuan bersama dapat terwujud.