Artificial Intelligence, Ancaman atau Peluang bagi Pendidikan – Akhir-akhir ini jagat pendidikan di-heboh-kan dengan munculnya program komputer yang mampu memberikan aneka informasi Artificial Intelligence (AI), ChatGPT. ChatGPT merupakan chatbot AI yang dikembangkan oleh perusahaan Amerika Serikat, OpenAI, sejak 30 September 2022. Keunggulan ChatGPT dapat menjawab berbagai informasi digital yang diminta oleh pengguna seperti sedang bercakap-cakap dengan sesama manusia.
Munculnya teknologi ChatGPT banyak menimbulkan polemik di antara para pendidik. Mereka menjadi ragu dengan strategi pembelajaran, yang selama ini sudah berlangsung. Seolah-olah semua persoalan pembelajaran — lewat teknologi terkini –dapat terjawab secara mudah. Mereka khawatir para murid mengambil jalan pintas dalam menjawab aneka Pekerjaan Rumah (PR) yang diberikan.
Kegelisahan pendidik ini sangat wajar mengingat prisonersamongus.com jawaban ChatGPT terhadap kebutuhan pengguna sangat baik, dan berkualitas. Padahal PR yang dibuat murid, pertama-tama untuk melatih menjawab persoalan secara mandiri, supaya lebih terlatih, dan bukan dijawab-kan oleh media lain untuk semata-mata mendapat angka sempurna.
Dalam mengerjakan PR, murid mungkin mengalami kesulitan, tetapi dalam situasi sulit tersebut dia dapat mengingat kembali contoh-contoh soal dan penyelesaian yang dibuat oleh guru. Jika PR terus dikerjakan sendiri, murid akan terlatih dalam menjawab aneka persoalan yang ada di dalam pelajaran.
Kemunculan AI sebenarnya sudah diperkirakan oleh beberapa pemikir, seperti Nimrod Aloni. Aloni (2007) merupakan seorang filsuf yang mendalami kajian filsafat pendidikan. Gagasan pendidikan yang dikaji terkait erat dengan dimensi kemanusiaan. Manusia — sebagai mahkluk otonom — mempunyai kebebasan dalam mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Aloni menyoroti isu-isu etis terkait pengembangan dan penggunaan teknologi digital. Dia termasuk orang yang khawatir bahwa suatu ketika AI akan mengambil alih keputusan, pekerjaan, tanpa melibatkan manusia; atau bahkan berpotensi mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karenanya dia mengusulkan agar dibuatkan pedoman etis untuk mengatur pengembangan dan penggunaan AI. Manusia perlu mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan dan nilai-nilai moral dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam situasi dunia yang serba canggih, para pendidik perlu mempertahankan nilai-nilai dasar (core values) kemanusiaan sebagai kekuatan utama dalam mendampingi para murid. Core values digunakan sebagai pondasi mengembangkan teknologi dan mendorong inovasi, dan memperbaiki kondisi hidup manusia secara umum.
Core values sangat mendesak dimiliki para pendidik dan peserta didik, karena dalam analisis Ellul (1964) bahaya teknologi dapat menghancurkan nilai-nilai manusia, seperti kebebasan dan martabat. Ellul berpendapat bahwa teknologi dapat mengubah manusia dan masyarakat menjadi sekadar konsumen dan pengguna, serta mengurangi kemampuan manusiawi dalam mengambil keputusan secara bebas dan bertanggung jawab.
Ellul mengafirmasi bahwa teknologi sebagai sebuah kekuatan mandiri dapat menghancurkan tradisi manusia, serta pengaruh terhadap masyarakat modern. Heidegger (Rev. 1993) dalam satu kesempatan berbeda mempertanyakan apakah manusia benar-benar menguasai teknologi, atau justru sebaliknya, teknologi yang menguasai manusia?
Teknologi oleh Heidegger dipandang sebagai sebuah “pengungkapan” atau “penampakan” dari keberadaan subjek, yang dapat mempengaruhi cara manusia melihat diri sendiri dan dunia di sekitar. Oleh karenanya, manusia sebelum menggunakan AI perlu menyiapkan mental diri agar tidak “kecanduan”, dan dikuasai oleh teknologi.
Hubungan antara teknologi dan kemanusiaan dalam realitas sekarang dan di masa depan cenderung menjadi semakin kompleks. Visi yang meyakinkan dibutuhkan untuk mengatasi kompleksitas relasional tersebut. Menurut Aloni, visi tersebut perlu dirancang, kemudian digunakan untuk menciptakan masa depan yang lebih adil, merata, dan berkelanjutan.
Dalam analisis Aloni, perlu pendekatan inter-disipliner yang melibatkan ahli teknologi, etika, sosial, dan humaniora. Pendekatan tersebut digunakan untuk mengembangkan teknologi yang lebih berkelanjutan dan memperhatikan kepentingan masyarakat.
Kemandirian manusia sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan di era yang semakin dikuasai oleh algoritma dan AI. Aloni mengafirmasi bahwa keputusan terpenting seharusnya tetap diambil oleh manusia. Kepercayaan terlalu besar pada teknologi dapat mengurangi kemandirian dan kemampuan manusia mengambil keputusan yang cerdas dan tepat.
Dalam formasi, pendidik perlu menyiapkan karakter para murid agar mampu menguasai teknologi, bukan teknologi yang menguasai mereka. Pendidikan di era digital, perlu memperhatikan signifikansi pemahaman bahwa sains dan teknologi tidak menjadi pengganti filsafat dan etika. Suatu ilusi/asumsi yang berbahaya jika teknologi pada umumnya dan komputer pada khususnya diyakini secara absolut dapat menjawab segala pertanyaan dasar manusia.
Para murid perlu dilatih berargumen secara lisan, dan tertulis. Mereka diajak bergerak lebih dalam, menembus fakta, dan memaknai informasi yang didapat dari berbagai sumber. Dalam kondisi yang demikian, ChatGPT dapat digunakan oleh para pendidik dan murid, hanya sebagai salah satu sumber pembelajaran.
Pendidik bersama murid dapat menelaah kembali informasi yang didapat dari AI. Memaknai ulang jawaban, dan kemudian mengafirmasi, atau mengkritisi jawaban AI. AI kemudian menjadi salah satu media pembelajaran bersama, guna menemukan jawaban yang terbaik.
Baca juga: 10 Negara Terbaik untuk Pendidikan di Masa Depan
Sebagai catatan akhir, jika paradigma pemahaman manusia terkait AI termasuk ChatGPT sudah benar, maka teknologi tidak lagi menjadi ancaman, melainkan peluang bagi pengembangan pengetahuan lebih lanjut. AI dapat digunakan sebagai alat bantu manusia mencapai kepenuhan rasionalitas untuk kemakmuran bersama.
AI tetaplah realitas benda, yang merupakan sarana teknologi untuk membantu manusia. Dalam dunia pendidikan, pendidik, dan tenaga kependidikan tidak perlu khawatir, para murid akan mencontek menggunakan ChatGPT. Bantulah mereka mengkritisi jawaban ChatGPT, dan kemudian memperdalam lebih jauh lagi ke dalam refleksi atas pengetahuan.
Ketajaman analisis diperlukan dalam menelaah aneka informasi yang didapat. Di masa-masa yang akan datang ujian-ujian lisan sangat diperlukan untuk menguji literasi pengetahuan yang dimiliki para murid. Mereka dilatih menguraikan gagasan langsung, yang dapat menggunakan teknologi sebagai alat bantu menganalisis persoalan.