Melawan Kebijakan Irasional dan Otoriter dalam Dunia Pendidikan – Dunia pendidikan belakangan ini jadi sorotan dan santer dibicarakan oleh berbagai kalangan, baik kalangan yang ada di tongkrongan warung kopi, tongkrongan para pelajar dan mahasiswa, tongkrongan para ibu-ibu rumah tangga, tongkrongan para praktisi pendidikan, maupun tongkrongan para elite politik—dalam hal ini yang mempunyai hak dan wewenang untuk membuat suatu kebijakan.
Para kalangan ini saling menyoroti terkait kebijakan dan peraturan yang dibuat serta dikeluarkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat yang membuat suatu aturan dan kebijakan baru dalam dunia pendidikan yang ada di daerahnya.
Di mana dia membuat suatu kebijakan siswa SMA/SMK sederajat harus berangkat ke sekolah pukul 05.00 pagi. Kebijakan itu langsung diuji coba di sepuluh sekolah—meski kebijakan tersebut kemudian direvisi menjadi jam 05.30 WITA.
Kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tetapi dalam hal ini massa yang kurang setuju dan cenderung melawan kebijakan tersebut menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan Gubernur NTT tersebut tidak berlandaskan atau tidak berpijak terhadap penelitian keilmiahan dan cenderung ngawur dalam membuat sebuah keputusan.
Bagaimana tidak, Gubernur membuat kebijakan di mana ia memerintahkan para siswa masuk sekolah pukul 5 pagi dengan alasan bahwa sang gubernur ingin melatih dan membentuk karakter siswa/i SMA/SMK serta melatih etos kerja yang ada di Nusa Tenggara Timur.
Niat awal yang diinginkan oleh gubernur sebenarnya baik karena ingin melatih karakter siswa agar lebih disiplin dan bisa bertanggung jawab. Akan tetapi niat awal yang baik tersebut tidak didukung oleh berbagai hal yang membuat niat tersebut menjadi salah kaprah dalam bertindak.
Begitu banyak aspek yang membuat keputusan gubernur tersebut sangat layak untuk dikritisi sekaligus dilawan. Dari kebijakan tersebut kita bisa menilai dari sisi psikologisnya terlebih dahulu. Dampak dari kebijakan tersebut sangat memungkinkan menghasilkan efek yang buruk bagi siswa itu sendiri.
Kebijakan berangkat ke sekolah pukul 05.00 pagi dapat berdampak terhadap kondisi fisik, emosi, dan kognitif para siswa. Jika dilihat dalam segi kondisi fisik, kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kualitas tidur para siswa sehingga dapat memengaruhi kondisi fisiknya.
Disisi lain, penambahan jam sekolah juga berakibat terhadap siswa yang nantinya menjadi kelelahan akut terhadap anak yang bisa menurunkan imunitas tubuh sehingga sangat rentan terhadap penyakit serta belajar menjadi tidak fokus.
Dikutip dari tempo.co, kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 pagi juga memiliki dampak terhadap segi emosi anak. Mereka harus bangun lebih pagi dari biasanya yang hal tersebut justru tidak mudah. Juga dengan orang tua yang bisa sewaktu-waktu tersulut emosinya ketika melihat sang anak belum siap untuk berangkat ke sekolah.
Terdapat lingkaran persoalan emosi negatif dalam kondisi seperti itu. Belajar di sekolah yang seharusnya diawali dengan emosi positif yang penuh akan harapan dan motivasi, malah menjadi emosi yang negatif yang penuh ketakutan dan kekhawatiran.
Jikalau hal ini berlangsung begitu lama muncul kekhawatiran yang nantinya ditakutkan para siswa ini hilang motivasinya untuk belajar di sekolah. Guru pun juga begitu lama-lama akan merasa capek dan hilang motivasinya untuk memberikan pengajaran terhadap siswanya. Sehingga hak-hak mendapatkan pengajaran yang baik bagi para siswa kurang terpenuhi karena kondisi dan keadaan tersebut.
Dalam segi kognitif kebijakan tersebut juga memberi dampak yang buruk. ebijakan berangkat sekolah lebih pagi dapat mempengaruhi aspek kognitif pada anak dikarenakan dalam hal ini otak manusia itu akan berfungsi secara optimal apabila kondisi badan dalam keadaan sehat dan bahagia.
Apabila siswa dalam belajar otaknya tidak dalam kondisi yang optimal dalam hal ini sehat dan bahagia, maka akan terjadi suatu degradasi terhadap kualitas literasi dan numerasi serta dalam pengambilan suatu keputusan akibat dikeluarkannya kebijakan tersebut.
Dalam faktor lainnya, misalkan dalam segi keamanan. Masuk sekolah pukul 05.00 pagi juga rentan terhadap keamanan para siswa itu sendiri. angit yang masih gelap dan sang surya belum menampakkan sinarnya berdampak pada segi keamanan siswa saat hendak berangkat menuju sekolah.
Karena kondisi yang masih gelap sangat berisiko terhadap siswa, yang ditakutkan nanti ketika siswa menuju ke sekolah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya pembegalan atau tindakan kejahatan lainnya.
Dalam segi fasilitas umum dan transportasi juga dinilai kurang memadai dan kurang menopang kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Viktor. ada jam tersebut transportasi umum belum beroperasi sehingga sangat menyulitkan para siswa yang berangkat ke sekolah naik transportasi umum dan jarak tempuh dari rumah ke sekolah cukup jauh.
Kebijakan ini dikeluarkan juga tidak melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, utamanya para pelajar itu sendiri yang menerima konsekuensi dari adanya kebijakan tersebut. eharusnya para pelajar tersebut juga mendapatkan hak belajarnya secara merdeka sesuai dengan arahan pemerintah saat ini bahwa belajar itu harus merdeka dan merdeka untuk belajar.
Prinsip dasar daripada merdeka belajar ialah menempatkan para pelajar tersebut dalam posisi yang merdeka dan memerdekakan. Dalam hal ini, pelajar diberikan ruang yang seluas-luasnya dan selebar-lebarnya untuk bisa mengeksplor serta memiliki kesempatan untuk ikut serta merancang peta jalan pembelajarannya.
Sejatinya pendidikan di Indonesia itu harusnya berpatok dan tidak terlepas dari semangat api perjuangan Ki Hajar Dewantara, yakni keteladanan (ing ngarsa sung tuladha), pembangunan semangat (ing madya mangun karsa), dan pemberdayaan (tut wuri handayani).
Baca juga: Teknologi Bisa Permudah Belajar Matematika
Menuntut ilmu atau belajar di sekolah seharusnya memberikan semangat dan membangun gairah belajar yang asyik dan menyenangkan serta memberikan seluas-luasnya terhadap ruang kemerdekaan. Bukan malah menjadi sumber ketakutan dan rasa kekhawatiran.
Kebijakan yang dibuat Gubernur Viktor begitu irasional dan cenderung otoriter. Karena sejatinya peserta didik di sini dijadikan sebagai subjek dalam pengambilan kebijakan yang harapannya nanti memberikan dampak baik terhadap mereka justru mereka malah dijadikan sebagai objek suatu kebijakan terkait pendidikan. Para pelajar di NTT tersebut menjadi kelinci percobaan dari kebijakan yang dibuat sang gubernur.
Karena kebijakan yang dibuat tersebut tidak melibatkan para pelajar yang ada di NTT. Oleh sebab itu, sudah seharusnya para pelajar harus menyuarakan aspirasi penolakannya karena dirasa kebijakan tersebut dinilai merugikan terhadap diri mereka secara kolektif. Hal itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan peserta didik sendiri di masa depan.
Sudah saatnya dan seharusnya pelajar yang ada di NTT dan di seluruh Indonesia agar tidak diam dan menerima begitu saja praktik-praktik irasional dan otoriter dalam dunia pendidikan. Para pelajar harus berani menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai luhur yang baik dan menentang tindakan semena-mena.
Jika perlu, lakukan konsolidasi kekuatan secara serius. Serta memperjuangkan gagasan dan pemikirannya dengan cara bergotong-royong.