Menumbuhkan Rasa Peduli
Berdasarkan kisah nyata, ada seorang guru Sekolah Menengah Atas ditanya murid, bernama Rina (bukan nama sebenarnya), “Pak guru, apa yang membuat hidup kita bahagia?” Guru tersebut agak terkejut, lalu berkata, “Kumpulkan beberapa teman sekelas cukup tujuh orang sebagai perwakilan, untuk awal mula.
Besok kita akan pergi ke suatu tempat, berjalan kaki saja” Keesokan harinya Rina bersama enam teman berkumpul dekat pohon ketapang di halaman sekolah.
Pak guru kemudian mengajak mereka berjalan kaki menuju pasar, sejauh dua kilometer. Setelah berada di lokasi tujuan, mereka berbelok ke kanan menuju sebuah Sekolah Dasar prisonersamongus.com (SD) yang terlihat amat sederhana. Di muka sekolah, tepatnya di dekat pohon beringin, pak guru memberikan briefing, penjelasan terkait aktivitas yang akan dilakukan.
Rupanya mereka diberi tugas tutorial, mendampingi anak-anak SD kelas IV, dan V untuk bernyanyi, menari, dan bergembira bersama. Awalnya ketujuh murid itu ragu apakah mampu atau tidak, tetapi karena pak guru telah memberikan motivasi yang kuat, akhirnya mereka bersedia menemani anak-anak SD.
Setelah selesai kegiatan, raut wajah ketujuh murid itu kelihatan bahagia sekali. Mereka kemudian berkumpul untuk sharing pengalaman, menyampaikan evaluasi, dan refleksi atas kegiatan yang sudah berlangsung. Dalam sharing, Rina baru menyadari, bahwa ternyata menjadi bahagia itu sederhana saja, yaitu mau dan bersedia berbagi dengan sesama secara tulus.
Rina mengakui bahwa sebelumnya, hidup yang dijalani hanya terfokus pada diri sendiri. Aneka aktivitas waktu itu dibuat semata-mata untuk memenuhi keinginan rasa ego yang begitu kuat. Rina bersyukur, setelah melalui pendampingan guru yang bijak, hidupnya mulai terasa bermakna. Pengalaman pembelajaran eksperimental di SD, walaupun nampak sederhana telah membuka mata, dan hatinya untuk berubah.
Kepedulian terhadap Sesama
Toyohiko Kagawa (1888-1960), sejak muda, tergugah hatinya ketika melihat realitas kemiskinan yang ada. Pada tahun 1909 dia meninggalkan kemewahan hidup di Kobe, dan memilih tinggal bersama orang miskin di Shinkawa.
Dalam interaksi sosial, Kagawa menyadari, bahwa orang miskin perlu dibantu. Kepekaan sosial pada dirinya pun bertumbuh. Kemudian dia memutuskan untuk berangkat studi lanjut, guna mempersiapkan diri, membantu orang yang masih berada dalam kemiskinan.
Pada tahun 1916 dia mempublikasikan hasil penelitian, berjudul The Psychology of Poverty (Psikologi Kemiskinan). Kagawa dalam analisis, menguraikan bagaimana kemiskinan dipahami sebab akibatnya, termasuk menggunakan cara efektif mengatasi persoalan mereka yang terpinggirkan.
Kagawa menjadi peduli, karena di dalam dirinya ada compassion. Compassion dalam webster dictionary dijelaskan sebagai kesadaran simpatik terhadap penderitaan orang lain bersamaan dengan keinginan untuk meringankan beban yang diderita.
Baca juga: Optimalisasi Digital Marketing Bagi Penerbit Buku dalam Modernisasi Pendidikan
Formasi Jiwa
Dalam profil pelajar Pancasila, ada frase gotong royong, sebagai salah satu bentuk nyata compassion. Kegiatan gotong royong perlu didesain secara baik, supaya tepat sasaran, misalnya dalam kegiatan live in, Pramuka, Palang Merah Remaja, aksi sosial, peduli lingkungan, dan tutorial sebaya.
Ki Hajar Dewantara (1948), secara eksplisit menguraikan tentang pentingnya semangat compassion dalam pendidikan kebudayaan di Indonesia. Beliau mengatakan, “Perkembangan hidup pribadi harus ditujukan ke arah keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama”. Ki Hajar menambahkan — melalui dimensi kebudayaan — manusia diharapkan mampu mencintai sesama, tidak merugikan orang lain, dan berbuat kebaikan guna kemajuan bersama.
Compassion dalam banyak segi memegang peran penting, yaitu sebagai dasar etis sosial membangun dan mengembangkan kepribadian murid di sekolah. Produk pendidikan, bukanlah otomatisasi mesin penghasil barang melainkan formasi jiwa orang yang hidup. Formasi yang demikian akan menghasilkan profil lulusan unggul, yang mencintai sesama secara tulus tanpa pandang bulu.
Formasi jiwa — dalam konsep pendidikan Platon — terkait dengan keunggulan intelektual dan moral yang menghasilkan “tindakan baik” (kalos kagathos/καλὸς κἀγαθός). Tindakan baik, dalam terminologi pemikiran etis klasik menujukkan semangat juang untuk menjadi peduli pada sesama. Dalam analisis Platon, bentuk tertinggi dari pengetahuan adalah empati, karena itu orang perlu menangguhkan ego dan hidup secara baik di dalam masyarakat. Empati yang didasari compassion, akan membekas dalam pribadi yang mau mengulurkan tangan untuk peduli bagi dan bersama sesama.
Kesimpulan
Sebagai catatan akhir, compassion dapat menimbulkan kesadaran para murid dalam merumuskan cita-cita hidup mereka yang mulia. Misalnya seorang murid ingin menjadi dokter karena mempunyai hasrat kuat untuk menolong pasien yang sakit; arsitek karena bersedia mendesain rumah-rumah sederhana bagi orang miskin; dan pedagang karena mau membantu para pembeli yang membutuhkan barang-barang dengan harga yang wajar.
Compassion dalam formasi hidup merupakan sesuatu yang penting. Oleh karenanya gagasan terkait compassion perlu diperkenalkan, dipelajari, dan dilatihkan, supaya para murid secara etis dapat bertumbuh sebagai pribadi yang utuh sebagai makhluk sosial yang peduli terhadap sesama.
Semoga dalam dunia pendidikan para pendidik dapat membantu para murid mengembangkan dimensi compassion. Jika dalam pribadi anak-anak bangsa mempunyai compassion yang kuat, maka persatuan Indonesia sangat mungkin terjadi, dan kesejahteraan sosial demi kemajuan bersama dapat terwujud.